Entah harus dari mana
kumulai kata pembuka hatiku. Setiap kali aku bertemu denganmu, aku
selalu saja seperti terhipnotis, kamu membuatku lupa akan segalanya.
Wajahmu selalu saja hadir dan menimbulkan akan rasa lupa yang
membingungkan pada wajah-wajah wanita lain yang pernah kucintai
sebelumnya, begitu kuatnya.
Aku tak pernah tahu dari jurusan mana
kamu datang. Tiba-tiba kamu hadir begitu saja, membawa keremangan
takdirku. Kamu membekap hatiku dalam kebimbangan cinta—tanpa arah, tanpa
tujuan pasti, tapi aku suka. Entah kamu anugerah ataukah mungkin malah
penderitaanku.
Aku ingat ketika pertama kali mengenalmu.
Perpustakaan adalah kata kuncinya. Entah kenapa aku selalu memilih meja
dan kursi yang sama demi membaca buku, mungkin karena tata letaknya
yang dekat dengan jendela hingga aku bisa merasakan sepoi angin
membelaiku. Saat itu kutemukan sebuah buku agenda di atas meja tempat
biasanya aku membaca buku-buku perpustakaan. Kubuka lembaran pertama
buku agenda itu. Nama dan nomor handphone pemiliknya tertulis jelas pada
lembaran pertama. Dari situlah akhirnya aku mengenalmu—kamu adalah
pemilik buku agenda itu.
Paling tidak seminggu dua kali kita
selalu menyempatkan diri untuk bertemu di perpustakaan, di meja yang
sama. Kita selalu membahas bacaan yang sama, sajak yang sama, novel yang
sama, filsafat yang sama. Tapi kita tidak pernah membahas tentang
cinta yang sama.
Padahal ingin sekali aku mendongengkan tentang
cerita kerajaan hatiku padamu. Ingin sekali aku berlutut didepanmu dan
meneriakkan yel-yel di perpustakaan ini ”Aku cinta padamu Laras, aku
sayang padamu Laras….”, tanpa peduli dengan tulisan ’harap tenang’ yang
tertempel disetiap sudut temboknya, tanpa peduli pada amukan penjaga
perpustakaan yang matanya melotot seperti penjagal berdarah dingin dan
suaranya yang seperti petir menggelegar itu.
Namun mulutku selalu
saja terkunci, lidahku kelu. Entah kenapa tubuhku selalu bergetar,
menggigil dalam euforia dan ketakutan bercampur baur. Ungkapan hatiku
selalu saja terhalang dengan kepengecutanku. Ataukah karena aku takut
kamu tolak?
Ataukah karena aku tak berhasrat untuk menyatakan
cinta? Karena aku sering merasa seolah-olah jiwaku, dalam dunia
kehidupan khayalku, berdekatan sangat erat denganmu, jiwaku dan jiwamu
dengan esensi dan substansi yang sama, telah ditakdirkan untuk bersama,
dan itu telah cukup bagiku — apakah aku seorang pecinta yang bodoh?
Hari
itu di tempat biasa kita bertemu, kamu menyodorkan potret seorang
lelaki kepadaku. Ah, hatiku serasa dilandai badai. Dia tampan, katamu.
Tapi aku hanya diam membisu kelu tak berbahasa dalam kata. Kutatap
potret itu, entah kenapa hatiku sepertinya sedih, tapi disisi lain aku
bahagia. Sedih karena teriris perih ngilu pilu disayat sembilu luka
cinta. Dan bahagia jika kamu memang telah menemukan kebahagian bersama
lelaki pilihanmu.
Kukembalikan potret itu ke dalam tanganmu,
kuberikan gurat senyum paksa. Lantas kamu menyimpannya kembali kedalam
dompetmu, kusimpan pula lembaran hatiku jauh dalam almari angan-angan.
”Gimana
tampan kan?” tanyamu lagi. Rupanya kamu seorang gadis yang butuh
penegasan. Aku hanya menjawab dengan anggukan setengah terpaksa saja.
”Namanya Raka. Kemarin dia menyatakan cintanya kepadaku. Dan aku menerimanya.”ucapmu.
”Hmmm…bagus
itu.”komentarku datar. Bibirku tersungging meski hatiku tersinggung
pedih sakit. Tapi aku tidak boleh kelihatan sedih didepanmu. Aku harus
tegar sekuat batu karang yang kokoh tak bergeming dilanda ombak yang
mengganas. Walaupun ketegaranku cuma pura-pura belaka.
Setelah
itu kamu tidak pernah lagi ke perpustakaan, kamu menghilang. Bahkan
nomor handphonemu pun tidak aktif. Apakah karena kamu sudah menemukan
tambatan hatimu si Raka itu, lantas kamu melupakanku begitu saja?
Setidaknya aku hanya ingin kamu anggap sebagai temanmu, karena sudah
tidak mungkin lagi aku berharap menjadi cintamu.
***
Sudah
dua bulan. Tidak! Persisnya sebulan lebih dua puluh hari sejak aku
kehilangan kamu. Namun kenangan kerlingan sepasang mata dan senyum
lesung pipitmu begitu menghanyutkanku. Dari bangku perpustakaan inilah
selalu kuperhatikan wajahmu nan ayu ketika kita duduk saling
berhadapan.
Bibirmu yang begitu ranum dan setengah membuka saat
membaca buku. Sepertinya bibir itu baru saja terlepas dari ciuman
panjang dan hangat yang belum terpuaskan. Helai-helai rambutmu yang
panjang hitam legam lurus terurai bergerak disaput sepoi angin nakal
yang muncul dari jendela, sehingga seringkali kamu berusaha untuk
menyibaknya kembali ke belakang jika rambut indahmu menyapa nakal
permukaan wajahmu yang ayu.
Ketenanganmu membaca buku, gemulai
tanganmu yang membolak-balik buku memperlihatkan sifat alami yang tak
terbatasi ruang dan waktu. Ah aku sepertinya tidak akan sanggup
melupakanmu. Hakikat esensi dirimu yang lembut telah menciptakan rasa
pengabdian yang begitu kokoh dalam sisi kejantananku.
Kamu telah
terlanjur membuat hatiku terbakar dan meleleh perlahan menyakitkan.
Kamu membuat lidahku tak lagi merasa nikmat mengecap rasa makanan yang
kata orang-orang begitu lezat. Tahukah kamu aku selalu memikirkan hal
yang sama setiap hari setelah kamu menghilang. Apakah kini mungkin
bagiku untuk benar-benar berhenti menatapmu?
Mungkinkah aku akan
benar-benar melupakanmu? Tapi semuanya itu berlangsung diluar
kendaliku. Sebulan lebih dua puluh hari aku selalu mengelilingi
perpustakaan ini, begitu seringnya, hingga aku dapat mengenali tata
letak semua buku yang ada di rak perpustakaan ini melebihi pengetahuan
penjaga perpustakaan ini. Namun terlepas betapa aku telah menunggumu
dan mencarimu di perpustakaan ini, semuanya sia-sia belaka. Aku selalu
saja kalah.
***
Hari ini seperti biasanya kulewatkan waktu
istirahat siangku dengan membaca di perpustakaan. Dari jendela yang
terbuka aku dapat menatap hujan yang turun. Dalam cuaca hujan aku
merasa bebas dan santai, seolah-olah tetes titik hujan membasuh
pikiran-pikiran sedihku.
Akan tetapi, hari ini aku merasa ada
suatu perasaan istemewa yang mengendap dalam ceruk mataku masuk
menjelajahi pikiranku. Kulihat sosok wanita berpakaian putih, laksana
seorang malaikat berjalan menuju arahku. Lantas wanita itu berdiri
didepanku. Kudongakkan kepalaku memandangnya. Kerlingan sepasang mata
dan senyum lesung pipit itu, tidak mungkin kulupa. Itu kamu. Ya, itu
kamu.
Aku tetap duduk. Aku terdiam bagai batu gapura candi,
merasa bagaikan seorang yang bermimpi dan tidak ingin bangun dari
mimpinya. Aku merasa mendapatkan suatu kepuasan yang tak
terungkapkan—seperti seorang anak kecil yang bahagia karena dibelikan
kembang gula oleh ibunya.
Kamu mengambil tempat duduk, lalu duduk
dihadapanku. Jantungku berhenti berdetak. Kutahan nafasku karena cemas
kalau-kalau nafasku akan membuatmu menghilang lagi, minggat dari
keberadaanmu, seolah-olah kamu adalah kepulan asap rokok yang biasanya
kuhisap nikmat.
”Bagaimana kabar kamu?” tanyamu mengawali pembicaraan.
Wajahmu menunjukkan ekspresi tenang. Tapi matamu seolah menyembunyikan sesuatu.
”Aku baik-baik saja” jawabku.
Keringat dingin membasahi dahiku. Kusapu dengan ujung lengan bajuku.
”Aku
tahu kamu selalu berada di perpustakaan ini. Aku hendak memberikan ini
kepadamu.”katamu seraya menyodorkan sebuah undangan pertunangan.
Tertera namamu dan Raka di bagian depannya. Aku bisa membaca isinya
walau aku tidak membukanya.
”Selamat ya…”ucapku menyembunyikan sedih.
Kusodorkan tanganku hendak menyelamati kamu. Tapi kamu menampiknya. Lantas aku hanya terdiam. Aku sungguh tidak mengerti.
”Hugghhh…Ternyata selama ini aku bodoh…”katamu.
”Bodoh?” tanyaku penasaran.
”Ya, aku bodoh, aku mengira kamu mencintaiku.”
Kutundukkan wajahku.
”Kamu tidak bodoh, aku memang mencintaimu.”ujarku lirih hingga seperti sebuah bisikan saja.
Entah mengapa kamu malah menangis terisak.
”Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang? Kenapa tidak sedari dulu sewaktu kita bertemu.?” ucapmu.
”Aku…a..ku…aku takut kamu tolak.”
”Tahu
tidak?! Untuk berkenalan denganmu aku sengaja menaruh buku agendaku di
atas meja perpustakaan tempat biasanya kamu membaca buku, tujuanku
supaya kamu bisa menemukannya dan mengembalikannya kepadaku. Sudah lama
aku melihatmu di perpustakaan ini. Sudah lama aku diam-diam
mencintaimu, bahkan sebelum kita berkenalan. Tapi mengapa kamu hanya
diam saja, bahkan saat Raka hadir dalam kehidupanku? Wanita itu butuh
ketegasan dari laki-laki!”isakmu.
Aku sungguh kaget dengan penuturanmu. Benarkah itu semua? Kalau begitu selama ini aku sungguh bodoh sekali.
”Tapi kini semuanya sudah terlambat. Tidak ada kesempatan lagi untukku.”kataku sambil kutatap undangan darimu.
”Rio…Tidak
ada kata terlambat! Betapapun Dewi fortuna adalah sosok perempuan yang
berkenan hanya terhadap laki-laki yang berani, punya nyali dan mampu
menguasai setiap kesempatan, bukan laki-laki yang hanya diam dan
menyerah kalah!”serumu memecah kebimbangan hatiku.
Aku segera
tersadar, lantas aku berlutut didepanmu dan meneriakkan gema yel-yel
dalam perpustakaan ”Aku cinta padamu Laras, aku sayang padamu Laras….”,
tanpa peduli dengan tulisan ’harap tenang’ yang tertempel disetiap
sudut temboknya, tanpa peduli pada amukan penjaga perpustakaan yang
matanya melotot seperti penjagal berdarah dingin dan suaranya
menggelegar seperti petir mengancamku untuk tenang dan diam.
Kamu
hanya mendekapku dalam tangisan. Entah mengapa aku sangat bahagia
sekali saat kamu membisikkan ”bawalah aku pergi dalam duniamu, dalam
kerajaan hatimu…” Ternyata selama ini kita benar-benar berada dalam
cinta yang sama. Bukan hanya dalam khayalanku saja.
Kini aku tak
tahu darimana harus kumulai kata untuk meminangmu. Memintamu menjadi
pendamping hidupku, bukan sekedar pacar. Tapi sebelumnya biarkanlah aku
dongengkan perihal kerajaan hatiku kepadamu — dimana rajanya adalah
aku dan permaisurinya adalah kamu.
Ungkapan
perasaan cinta memang bukan hanya sekadar kata, namun cinta dapat pula
diungkapkan dengan genggaman tangan yang erat namun lembut, pun
tatapan hangat namun tajam setajam isi hati. Tetapi itu bukanlah alasan
bahwa kamu boleh memendam perasaan cinta.
Cinta
harus diungkapkan dengan perkataan, karena cinta butuh kepastian.
Kepastian yang menyatakan isi hati. Ketahuilah, perkataan adalah sosok
yang paling mampu untuk mewakili isi hati, karena sedekat apapun kamu
dengan seseorang, kamu tidak akan pernah mengetahui isi hatinya.
Berani
dan jujurlah dengan perasaanmu. Singkirkan rasa takutmu, karena pada
hakekatnya, cinta hanyalah untuk mereka yang berani, bukan mereka yang
pengecut, yang hanya bisa memuji dalam hati, mengagumi dalam mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar